Jumat, 03 November 2017

Transaksi Non Tunai





Beberapa waktu belakangan, kebijakan   Transaksi Non Tunai,  Aksi PPK (Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi),  dan  Maturitas SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) menjadi bahan diskusi ASN di daerah.   Beragam pemahaman tentang kebijakan tersebut, mudah-mudahan dapat menjadi inisiasi lahirnya   best practice  yang  dapat  meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di daerah.
Aksi PPK adalah  kegiatan atau program yang dijabarkan  dari Stranas PPK (Strategi Nasional – Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) untuk dilakukan oleh Kementerian / Lembaga dan Pemerintah Daerah (Perpres Nomor 5 Tahun 2012).   Penjabaran tersebut secara umum dilakukan setiap tahun dan ditetapkan dengan Instruksi Presiden (Inpres).  Khusus  tahun 2016 dan 2017, dijabarkan dalam periode waktu 2 (dua) tahun, melalui  Inpres Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan tahun 2017.   Di beberapa daerah Aksi PPK ini, dikoordinasikan oleh Bappeda dengan melibatkan APIP dan OPD terkait lainnya.
Berdasarkan Inpres Nomor 10 Tahun 2016,  salah satu strategi PPK (Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) adalah  Strategi Pencegahan.   Strategi Pencegahan, terdiri dari 11 (sebelas) kelompok  aksi,  yang memuat sekitar  23 jenis aksi.  Salah satu kelompok aksi yaitu  Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan, memuat  3 aksi (Aksi Nomor 17-19).  Aksi Nomor  18 berupa  “Percepatan implementasi transaksi non tunai di-seluruh Kementerian / Lembaga dan Pemerintah Daerah”.   Penanggungjawab Aksi PPK Nomor 18 tersebut adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan Instansi Terkaitnya antara lain : Pemerintah Daerah.  Kriteria keberhasilan aksi tersebut adalah menekan korupsi pada tahapan realisasi anggaran pembangunan dan pengadaan barang dan jasa.  Terdapat 3 (tiga) ukuran  keberhasilan aksi tersebut, diantaranya :  Terselesaikannya Peraturan Menteri Keuangan dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengenai pembatasan transaksi tunai di Kementerian / Lembaga dan Pemerintahan Daerah;  Terbangunnya sistem evaluasi, monitoring realisasi anggaran pembangunan dan pengadaan barang dan jasa.
Untuk pelaksanaan di tingkat Pemerintah Daerah, Kementerian  Dalam Negeri sudah menerbitkan dua surat edaran yaitu SE tertanggal 17 April 2017 dengan Nomor :  910/1866/SJ yang ditujukan kepada Gubernur,  dan  SE tertanggal  17 April  2017 dengan Nomor 910/1867/SJ yang ditujukan kepada Bupati / Wali Kota.   SE tersebut berisi 6 poin, diantaranya memberi batas waktu pelaksanaan paling lambat 1 Januari 2018 ;  Kepala Daerah diberi kewenangan menetapkan kebijakan implementasi transaksi non tunai serta rencana aksi atas pelaksanaan kebijakan dimaksud. 
Kemudian, Program yang menarik perhatian lain  di daerah adalah terkait  Maturitas SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah).  Maturutas SPIP merupakan gambaran tingkat kematangan / kesempurnaan penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah dalam mencapai tujuan pengendalian intern sesuai  PP Nomor 60 tahun 2008.  Program tersebut, antara lain meliputi penilaian dan perumusan strategi untuk peningkatan Maturitas SPIP.   Tingkat Maturitas SPIP merupakan salah satu indikator kinerja  RPJMN 2015-2019  Sub-bidang Aparatur Negara (Buku II  atau Lampiran Perpres Nomor 2 tahun 2015), dimana  pada tahun 2019  ditargetkan mencapai level 3 atau dengan status “Terdefinisi” (kisaran level 0-5).   Status Terdefinisi, dicapai apabila organisasi pemerintahan sudah melaksanakan praktek pengendalian intern dan terdokumentasi dengan baik, namun evaluasi atas pengendalian intern dilakukan tetapi  belum terdokumentasi dengan baik.   Program Maturitas SPIP tersebut difasilitasi oleh BPKP sebagai instansi Pembina Penyelenggaraan SPIP (Pasal 59 ayat (2) PP Nomor 60 Tahun 2008),  sedangkan di daerah dikoordinasikan oleh  APIP masing-masing daerah.
Penilaian maturitas SPIP mempedomani Perka BPKP Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penilaian Maturitas SPIP.  Penilaian dilakukan terhadap 5 unsur SPIP, dengan difokuskan pada 25 sub-unsur, dan masing-masing sub-unsur memiliki 5 (lima) “gradasi” yang perlu dikonfirmasi keberadaannya (seperti melalui pertanyaan yang didukung bukti).  Setiap gradasi harus konsisten,  dan meningkat apabila gradasi sebelumnya dapat dipenuhi.    Perihal substansi-substansi yang perlu dikonfirmasi, pada masing –masing  sub-unsur SPIP, ada yang diungkap langsung dan ada yang secara tidak langsung (tersirat), sehingga perlu kreatifitas pihak-pihak  terkait  untuk menentukan sesuai ketentuan yang berlaku dan kondisi daerah.
Sebagai ilustrasi :  Untuk  Sub-unsur ke-17 : “Otorisasi Transaksi dan Kejadian Penting”.  Contoh  domain  / wilayah  substansi yang di sebutkan yaitu keuangan, barang, kepegawaian, perizinan dan pendapatan.  Pada gradasi pertama (level ke-satu) yang perlu dikonfirmasi keberadaan aturan/pedoman / SOP terkait otorisasi transaksi / kejadian penting (tindakan / keputusan pejabat terkait).  Selanjutnya pada gradasi yang tertinggi (pertanyaan ke-lima), terkait “adanya pengembangan dalam penerapan aturan / pedoman / SOP secara terus menerus sesuai dengan perubahan lingkungan strategis, dan telah dilakukan pemantauan otomatis /online oleh pimpinan unit organisasi/ unit kerja atas otorisasi yg dilaksanakan.”
Jika kita cermati terdapat “titik singgung”  antara kebijakan Aksi PPK “Transaksi Non Tunai” dengan Maturitas SPIP, Sub-unsur 17 “ Otorisasi Transaksi dan Kejadian Penting” pada domain keuangan.  Apabila  kewenangan daerah dalam menetapkan kebijakan implementasi transaksi non tunai dapat dioptimalkan, tentunya akan tercipta suatu prosedur pembayaran non tunai  yang terotorisasi dengan baik dan sekaligus terdokumentasi.   Jika daerah mau dan mampu mengembangkan lebih lanjut,  seperti dengan membangun aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan maka terwujudlah ukuran keberhasilan ke-3 dari aksi PPK (Terbangunnya sistem evaluasi, monitoring realisasi anggaran pembangunan dan pengadaan barang dan jasa) dan sekaligus juga tercapai maturitas  SPIP pada Sub-unsur ke-17, domain keuangan, akan mencapai grade ke-5 (aturan transaksi keuangan dikembangkan dan diimplementasikan sehingga dapat dipantau secara otomatis / online oleh pimpinan).  
Apabila arah pengembangan dapat dibangun secara akurat dan terintegrasi dengan aplikasi-aplikasi yang lain (e-kinerja, dll), tentunya  setiap pengeluaran belanja  akan diketahui secara akurat tentang  oleh siapa yang memiliki otoritas munculnya beban belanja;  berapa besarannya;  kepada siapa belanja dikeluarkan;  barang & jasa apa yang diperoleh oleh pemerintah;  berapa yang langsung dimanfaatkan untuk kegiatan dan yang menjadi persediaan; bagaimana kinerjanya (seperti layanan publik, peningkatan SDM aparatur, peningkatan sarana produksi masyarakat, dll),  kelompok masyarakat mana yang memanfaatkan, dan dalam periode tertentu dapat diukur bagaimana pengaruhnya terhadap indikator-indikator pembangunan.
Akhirnya, dengan data-data pengeluaran yang jelas dan kinerja yang jelas maka unit-unit cost pembangunan dapat diestimasi dan dikalkulasi secara cermat.  Misalnya berapa biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan nilai tambah sektor perternakan sebesar 1 %,  berapa biaya yang dibutuhkan meningkatkan derajat kesehatan sebesar 1 %,  berapa biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan sekitar 1 %, dst.   Selanjutnya, data –data tersebut dapat dibandingkan dan dianalisis, apakah organisasi semakin efektif dan efisien, atau sebaliknya.  Bukankah kita (organisasi) ingin terhindar dari kelompok orang-orang yang merugi sebagaimana disebutkan dalam Surat Al 'Ashr.

Rabu, 25 Oktober 2017

Indikator Kinerja Mandiri


Indikator kinerja mandiri merupakan indikator yang dikembangkan oleh organisasi secara mandiri berdasarkan hasil analisis kebutuhan pelayanan sesuai  dengan tugas  dan  fungsi organisasi.  Istilah tersebut dapat ditemui dalam Pemendagri  Nomor  54  Tahun  2010,  dan  dibahas  dalam  konteks  penyusunan indikator kinerja pada tingkatan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).   Indikator kinerja mandiri disusun apabila tidak tersedia  indikator kinerja yang dapat menggambarkan pelayanan organisasi, selain indikator terkait SPM (Standar Pelayanan Minimal), indikator kinerja terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan (mengacu kepada IKK yang ditetapkan oleh Kemendagri) atau indikator lain yang  telah  diratifikasi  oleh  Pemerintah sesuai dengan  tugas  dan  fungsi organisasi,  seperti indikator-indikator terkait  SDG’s (Sustainable Development Goals).
Permendagri  Nomor  54 tahun 2010,  tidak membahas  indikator kinerja mandiri dalam konteks   indikator kinerja pada tingkatan  daerah (RPJPD, RPJMD dan RKPD),  meskipun demikian jika  ingin menerapkan adanya konsep cascading  (indikator  menurun secara berjenjang dari level yang lebih tinggi ke level dibawahnya), maka seyogyanya pada level daerah dapat juga disusun indikator kinerja mandiri.   Disamping  itu, kebutuhan akan adanya indikator kinerja mandiri merupakan realita atas  keberagaman tingkatan dan  kebutuhan pembangunan pada masing-masing daerah.  Keberagaman tersebut terimplementasi dari pernyataan-pernyataan  Tujuan / Sasaran dalam dokumen perencanaan daerah (seperti RPJMD) yang  bersifat  relatif  dan  sulit dikuantifikasi dengan indikator yang ada (diukur secara akurat).  Misalnya  pernyataan Sasaran :   “Meningkatnya  kompetensi ASN”;  “Meningkatnya transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah”;  “Meningkatnya kualitas pelayanan publik”,   dll.
Secara sederhana,  penyusunan  indikator kinerja mandiri (termasuk target dan metode pengukurannya)  diutamakan untuk memberikan gambaran atas pelayanan utama.  Dengan demikian   indikator kinerja mandiri tersebut  akan difungsikan sebagai :  (1)   indikator kinerja utama (IKU) pada tingkatan daerah; (2) indikator IKU OPD yang akan menjadi yang pendorong tercapainya IKU daerah.   Apabila indikator kinerja mandiri yang disusun akan menjadi   IKU pada tingkatan daerah, maka perlu diperhatikan karakteristik indikator tersebut, seperti  indikator  komposit (campuran),   bersifat  outcome (hasil),  dll.   Selanjutnya jika indikator kinerja mandiri tersebut akan menjadi IKU pada tingkatan OPD, dan akan menjadi IKU   pendorong  IKU daerah,  maka perlu diperhatikan  keterkaitan dan keselarasan dengan IKU daerahnya.
Ilustrasi  dari  indikator kinerja mandiri yang akan dijadikan IKU daerah.   Misalkan  dalam RPJMD  suatu  terdapat Tujuan :  “Terwujudnya  kompetensi ASN sesuai ketentuan,  dengan  target  sebesar  95% (asumsi pada kondisi  perencanaan hanya  60% ASN yang memiliki kompetensi sesuai bidang tugasnya)”.   Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan salah satu Sasaran “Meningkatnya kompetensi ASN sesuai dengan jabatan masing-masing,  dengan target peningkatan 5 % per tahun”.   Kemudian,   Strateginya :  “Mengirim / mendiklatkan  ASN untuk  mengikuti  diklat  teknis  sesuai  standar  jabatan”.  Selanjutnya dipilih 3 (tiga) dengan arah kebijakan yaitu arah kebijakan (1) : “Meningkatkan kompetensi jabatan struktural melalui diklat  kepemimpinan”;   arah kebijakan (2) : “Meningkatkan kompetensi jabatan fungsional tertentu (guru dan tenaga kesehatan)”;  arah kebijakan (3) : “Meningkatkan kompetensi jabatan fungsional lainnya”.  Jadi untuk level Daerah dapat disusun indikator kinerja mandiri berupa  Persentase  Peningkatan Kompetensi Standar ASN Pemangku Jabatan Struktural, Fungsional  Tertentu dan Fungsional Lainnya.  Selanjutnya untuk metode perhitungannya, dapat disusun  formula matematisnya. 
Disamping itu berbagai  variasi indikator kinerja mandiri yang dapat disusun,  sesuai dengan  pernyataan –pernyataan  Tujuan, Sasaran, Strategi, dan Arah Kebijakan yang terdapat dalam dokumen perencanaan daerah maupun OPD.   Apabila  suatu daerah memiliki   kebijakan bahwa setiap ASN yang diserahi tugas tertentu perlu memiliki  kompetensi tambahan (misalnya :  Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK)-OPD harus mengikuti Diklat/Kursus Keuangan Daerah), maka indikator kinerja mandiri yang disusun menyesuaikan  dengan kebijakan tersebut.  Jika kita menggunakan ilustrasi di atas, maka indikator kinerja mandiri akan berubah menjadi : “Persentase Peningkatan Kompetensi ASN Pemangku Jabatan Struktural, Fungsional Tertentu, Fungsinal Lainnya dan Pemangku Jabatan Pelaksana lainnya”.  Begitu juga, apabila pernyataan  tujuan memuat substansi “Peningkatan kapasitas ASN”, maka indikator kinerja mandiri yang disusun seyogyanya ditambahkan unsur  jenjang pendidikan (biasa dipakai rata-rata  lama sekolah ASN) secara tertimbang/proporsional.
Ilustrasi dari indikator kinerja mandiri yang akan menjadi IKU OPD  yang  menjadi  pendorong IKU daerah.  Misalkan  dalam RPJMD  suatu  terdapat  Tujuan :  “Terwujudnya  transparansi penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai ketentuan,  dengan  target  terlayaninya  seluruh permintaan  informasi publik  sebesar  100% (asumsi kondisi saat perencanaan masih 50 %)“.   Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan  salah satu Sasaran “Meningkatkan  transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah,  dengan target peningkatan 10 % per tahun”.   Kemudian,   Strateginya :  “Meningkatkan pengelolaan  informasi publik”.   Selanjutnya dipilih 3 (tiga) Arah Kebijakan  : (1) “Meningkatkan  pengungkapan informasi publik (disclosure)”;   arah  kebijakan (2) : “Meningkatkan ketepatan media (media effectiveness)”;  arah kebijakan (3) : “Meningkatkan kebenaran informasi (truth) ”.   
Sesuai dengan sasaran tersebut,  maka  daerah  dapat  menggunakan   Indeks  Transparansi  Publik  sebagai IKU pada tingkatan daerah.    Selaras  dengan arah kebijakan nomor (1),  maka  OPD  terkait dapat  menetapkan indikator kinerja mandiri,  seperti  “Persentase Peningkatan Pengungkapan Informasi  Publik”, yang selanjutnya dijadikan IKU OPD yang menjadi pendorong IKU daerah yaitu Indeks Transparansi Publik.    Agar  persentase pengungkapan informasi publik tersebut dapat diukur,  maka  PPID secara bersama-sama OPD (selaku  Badan Publik)  terlebih  dahulu  mengidentifikasi seluruh  jenis-jenis  informasi yang termasuk informasi publik yang dikelola oleh masing-masing OPD,  kemudian dikonsolidasi menjadi informasi publik daerah,  sehingga  dapat diukur persentase pengungkapannya.
Keberadaan indikator kinerja mandiri yang akurat sangat penting dalam mengisi kekosongan indikator kinerja untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja organisasi secara administratif, karena secara umum indikator kinerja merupakan bagian dari proses administrasi yang dapat menggambarkan bagaimana suatu organisasi  memahami dan menjawab kebutuhan masyarakat dengan memberikan layanan   publik  secarakurat, dalam lingkup kewenangan yang  dimiliki  organisasi tersebut.

Jumat, 29 September 2017

Mengestimasi Kebutuhan IKU Pemda





Kadangkala masih terdapat “keraguan” dalam membedakan  antara  IKU  dengan IKK,  apalagi  IKU  sering disebut juga  Key Performance Indicator (KPI), yang apabila diterjemahkan secara “bebas”  memiliki arti  yang sama dengan  Indikator Kinerja Kunci (IKK).   Namun jika kita, mencoba mengembalikan “pengertian” kepada ketentuan yang berlaku, maka IKU dan IKK memiliki perbedaan.    IKK  disusun  dan  ditetapkan oleh  Instansi Pembina,  sehingga  jumlah dan bentuk IKK beserta data pendukung maupun  cara perhitungannya  sudah diformulasi sedemikian melalui pedoman yang ditetapkan  oleh Instansi Pembina  tersebut.   Sedangkan IKU, disusun dan ditetapkan sendiri  oleh  setiap organisasi untuk mengukur keberhasilan organisasi  tersebut  secara menyeluruh terkait pelaksanaan tugas dan fungsinya.  Dengan demikian,  jumlah dan  bentuk IKU serta data-data kinerja pendukung yang dibutuhkan  akan bervariasi antar masing-masing  Pemda / Organisasi,  dan dipengaruhi oleh kebijakan masing-masing daerah.
Penyusunan IKU Pemda bersifat otonom, dan sesuai juknisnya  dapat membentuk   Tim Penyusun  terdiri dari unsur  yang berasal dari  Setda,  OPD Perencanaan, OPD Pengawasan, dan unit kerja lain sesuai kebutuhan.   IKU yang disusun seyogyanya mampu menggambarkan keberhasilan organisasi secara menyeluruh.  Agar penyusunan IKU maksimal, maka  Tim Penyusun perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (1) Substansi dari Tujuan dan Sasaran yang ingin diwujudkan (2) Strategi dan Arah Kebijakan; (3). Tingkat validitas IKU;  (4) Ketersediaan data kinerja. (5) Sinkronisasi dengan informasi kinerja yang dibutuhkan oleh sistem pelaporan.
Pertama,   substansi  dari tujuan dan sasaran.  Secara prosedural,  pemahaman terhadap  substansi dari Tujuan/ Sasaran merupakan tahapan  pertama  dalam  penyusunan IKU.  Dalam Permenpan Nomor 20 Tahun 2008, disebut  kegiatan  klarifikasi atas sesuatu yang menjadi kinerja utama, pernyataan hasil (result statement) atau  Tujuan / Sasaran yang ingin  dicapai.  Namun dalam praktek,  Tim penyusun sering “mengabaikannya”, dan langsung ke tahap menyusun Daftar Awal  IKU yang mungkin dapat digunakan, baik dari dokumen perencanaan yang ada maupun  dari usulan masing-masing OPD.   Proses demikian sering membuat Tim Penyusun “terjebak”, dalam kondisi hanya melakukan kompilasi, dan akhirnya   IKU yang ditetapkan belum dapat menggambarkan secara  menyeluruh keberhasilan pembangunan dan sesuai dengan kondisi riil dalam masyarakat.  
Ilustrasi, bagaimana memahami substansi dari Tujuan / Sasaran, sebagai berikut :  Misalnya suatu  RPJMD memuat  :  Tujuan (T)  “Menurunkan  pengangguran dan kemiskinan, sesuai target nasional”,  kemudian ditetapkan dua sasaran yaitu Sasaran-1  :  “Menurunnya  pengangguran sebesar  x %;  dan  Sasaran-2 : “Menurunkan  kemiskinan sebesar y %”.    Apabila IKU ditetapkan pada  level  Sasaran, maka minimal dibutuhkan  2 (dua) IKU.   Tetapi  jika kita mencoba memahami  substansi dari Sasaran-1,  (menurunkan  pengangguran), maka secara riil yang ingin dicapai  yaitu berkurangnya   jumlah penduduk / angkatan kerja yang tidak / belum  memiliki pekerjaan (disebut juga dengan  pengangguran terbuka), dan  bertambahnya   jumlah penduduk / angkatan kerja  yang bekerja diatas  40 jam per minggu (berkurangnya jumlah penduduk yang setengah menganggur/bekerja kurang dari 40 jam per minggu), sehingga minimal dibutuhkan 2 (dua) IKU.    Begitu juga  untuk Sasaran-2, maka yang ingin dicapai  yaitu berkurangnya  jumlah penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita dibawah garis kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk miskin yang mampu meningkatkan  pendapatan per kapita sehingga mendekati /sedikit dibawah garis kemiskinan ( sering disebut kedalaman kemiskinan).  Dengan demikian, untuk 1 (satu) Tujuan, 2 Sasaran dalam RMPJD. diperkirakan membutuhkan sekitar 4 (empat) IKU.
Kedua, Strategi dan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai Tujuan / Sasaran.    Melanjutkan  contoh sebelumnya,  sekiranya untuk mencapai Sasaran-1,  ditetapkan  1 (satu) Strategi-1 yaitu  “Menciptakan lapangan kerja baru”, dan Arah Kebijakan-1 : “Menumbuhkan wirausahawan baru pada dua sektor unggulan yaitu sektor peternakan dan perikanan”.  Berdasarkan  Strategi-1  dan Arah Kebijakan-1 tersebut, maka  untuk  Sasaran-1,  cukup memakai 1 (satu)  IKU saja yaitu IKU-1 : “Menurunnya tingkat pengangguran terbuka, dengan target sebesar x %”.    Selanjutnya jika  untuk mencapai Sasaran-1, ditambah dengan Strategi-2 : ”Meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor perkebunan”,  dengan Arah Kebijakan-2  :  “Mengembangkan pengolahan karet di tingkat petani”,  maka  memakai IKU-1  saja  belum  cukup, karena dengan pengembangan pengolahan karet di tingkat petani, akan menambah beban kerja dan sekaligus dapat menambah jam kerja petani tersebut atau membuka kesempatan kerja baru.  Dlam kondisi demikian maka disamping menggunakan IKU-1, juga diperlukan IKU-2 :  misalnya “Berkurangnya jumlah penduduk yang bekerja  dibawah 40 jam per minggu, sebesar  y %”.
Ketiga, tingkat validitas IKU.  Semakin tinggi validitas IKU, berarti semakin kuat indikator tersebut menggambarkan kondisi yang sebenarnya di lapangan / dalam masyarakat.  Dalam contoh diatas, IKU-1 dan IKU-2  termasuk  IKU exact (validitasnya tinggi) dan biasanya dihitung oleh lembaga resmi, sehingga cukup memadai menggambarkan pencapaian Sasaran -1.
Keempat, ketersediaan data kinerja.  IKU memiliki target kinerja sehingga membutuhkan data-data kinerja untuk menghitung pencapaian targetnya.   Sekiranya data-data kinerja  sulit / belum  mampu disediakan  pada saat penyusunan Laporan,  maka  seyogyanya disusun  IKU lainnya sebagai tambahan atau Sub-IKU.  Sebagai ilustrasi,  jika kesulitan data kinerja  untuk mengukur  IKU-1  (Menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka, sebesar x %),  maka dapat menambahkan indikator lain sebagai  IKU  seperti  “Penurunan jumlah pencari kerja yang terdaftar”,   atau “Persentase jumlah pencari kerja yang telah tersalurkan”.   
Tim Penyusun harus, cermat dalam memahami indikator lain tersebut agar tidak berbias.  Misalnya, jika ingin menjadikan “Penurunan jumlah pencari kerja yang terdaftar”,   sebagai IKU untuk Sasaran-1, maka harus dipastikan dulu bahwa pada daerah tersebut hampir seluruh pencari kerja mendaftarkan diri ke instansi terkait.  Bagaimana kita mengujinya, antara lain dapat dengan mempelajari data tahun-tahun sebelumnya, misalnya jika data resmi BPS melaporkan jumlah pengangguran terbuka hampir sama dengan jumlah pencari kerja yang terdaftar.   Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi,  maka pemakaian IKU tambahan tersebut akan berbias untuk mengukur Sasaran-1.  Misalnya,  jumlah pencari kerja yang terdaftar menurun  w %,  sehingga  ditafsirkan tingkat pengangguran terbuka menurun, padahal penurunan tersebut disebabkan banyaknya pencari kerja yang tidak mendaftar.   Solusi untuk kondisi, terkait sulitnya ketersediaan data kinerja, atau sulitnya indikator yang setara, maka Tim Penyusun dapat membangun Indikator Kinerja Mandiri  (Permendagri Nomor 54 Tahun 2010) dan  menjadikan indikator tersebut sebagai IKU tambahan.
Kelima,  sinkronisasi dengan informasi kinerja yang dibutuhkan oleh sistem pelaporan yang telah diatur sesuai dengan ketentuan, seperti pelaporan kinerja, penyelenggaraan pemerintahan daerah,  program-program  prioritas  secara  regional  dan  nasional,   serta  pelaporan  lainnya.  Misalnya sinkronisasi antara pelaporan kinerja dengan program prioritas nasional.   Seperti kita ketahui untuk Tahun 2017,  salah satu  sasaran  pembangunan nasional  yaitu pencapaian tingkat pengangguran untuk wilayah sumatera sekitar 5,0%, maka agar terjadi sinkronisasi seyogyanya daerah juga memakai IKU “Penurunan Tingkat Pengangguran, sebesar x %”.  Artinya jika tingkat pengangguran tahun sebelumnya sekitar 6,3 %, maka target IKU seyogyanya minimal 1,3%.
IKU sebuah instrumen, yang akan menuntun bagaimana pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  IKU yang akurat memungkinkan Pemerintah Daerah, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja serta meningkatkan akuntabilitasnya.   

Senin, 18 September 2017

Mengenal Indikator Kinerja Utama (IKU)



Delapan tahun lebih usia regulasi terkait IKU, namun persoalan ukuran kinerja (keberhasilan) yang jelas dan terukur masih menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas kinerja Pemda.    Implementasi IKU dimulai dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara  Nomor : PER/20/11/2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama.  Dalam peraturan tersebut, IKU didefinisikan sebagai ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran strategis instansi pemerintah.   Sejalan dengan waktu definisi IKU mengalami perkembangan, dimana pada beberapa kementerian dan lembaga, IKU didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif dan/ atau kualitatif  yang akan memberikan informasi sejauhmana sasaran strategis yang telah ditetapkan dapat diwujudkan.   Definisi terakhir ini,  lebih berfokus terhadap indikator dari sasaran strategis. 
Pengelompokan IKU bermacam-macam, sesuai karakter/sifat maupun proses pencapaiannya.  Berdasarkan bentuk IKU dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu IKU input,  IKU output dan IKU outcome.  IKU input merupakan IKU paling sederhana, dimana mengukur besaran input-input yang digunakan untuk melaksanakan program-program, seperti alokasi dana.  IKU output  adalah IKU yang mengukur  keluaran (produk) atas penggunaan input-input.  IKU outcome adalah IKU yang mengukur manfaat yang diterima oleh stakeholders sebagai hasil dari kegiatan organisasi. IKU input dan IKU output, sering dikatakan berfokus kedalam organisasi (internal).  Sedangkan IKU outcome,  berfokus pada pihak eksternal atau keluar organisasi.  Dalam evaluasi LAKIP (Permenpan-RB 20 Tahun 2013) mengkehendaki instansi pemerintah untuk menyusun, mereviu dan menyempurnakan perencanaan, pengukuran dan pelaporan kinerja yang berfokus pada hasil (outcome).
Dalam Penyusunan IKU harus diperhatikan tingkat validitasnya.  Validitas suatu IKU ditentukan  oleh tingkat keterkaitan IKU dengan SS (Sasaran Strategis) yang ingin dicapai.   Keterkaitan ini dinilai berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan pada masing-masing urusan/sektor.  Ada 3 (tiga) kelompok validitas suatu IKU yaitu exact, proxcy dan activity.
Validitas exact, merupakan ukuran yang ideal untuk mengukur hasil pencapaian sasaran strategis, dan  biasanya  menggunakan indikator-indikator yang berkaitan secara langsung dan telah teruji secara ilmiah.  Misalkan,  SS  “Penurunan Tingkat Pengangguran”,  maka terdapat beberapa indikator untuk mengukurnya, seperti   tingkat pengangguran terbuka.   Tingkat  pengangguran  terbuka   termasuk IKU exact.
Tingkat validitas proxcy,  jika mengukur hasil secara tidak langsung atau menggunakan sesuatu ukuran yang diasumsikan dapat mewakili hasil yang ingin dicapai.  Misalkan SS : “Meningkatnya kualitas kehidupan beragama”.  Untuk  mengukur  kualitas kehidupan  beragama, secara langsung sangat sulit, namun ada indikator-indikator secara tidak langsung seperti   persentase  penduduk peserta  ibadah haji, peserta ibadah kurban, dll. Jika  persentase penduduk peserta kurban dijadikan IKU, maka termasuk jenis IKU proxcy.  
Tingkat validitas activity,  jika mengukur jumlah, biaya atau waktu dari program/kegiatan yang berdampak terhadap sasaran strategis yang ingin dicapai.  Misalkan SS : “Meningkatnya tata kelola satuan pendidikan”.  Untuk mengukur peningkatan tata kelola satuan pendidikan, dapat dipakai indikator seperti   persentase sekolah yang lulus akreditasi baik,  jumlah sekolah yang mengikuti akreditasi, dll.   Jika  indikator yang dijadikan IKU adalah jumlah sekolah yang mengikuti akreditasi, maka IKU-nya termasuk activity.
Tingkat IKU yang dipilih seyogyanya adalah IKU dengan tingkat validitas exact, namun jika memang belum tersedia maka dimungkinkan menggunakan validitas  proxcy  atau activity,  tetapi sebaik proporsinya dibawah dari 20%  dari  total  IKU yang digunakan.
Target IKU harus memenuhi beberapa hal, yaitu SMART-C; Spesific (spesifik), Measureable (dapat diukur), Agreeable (dapat disetujui), Realistic (realistis, dapat dicapai namun menantang), timebound (memiliki jangka waktu), continuously improve (diupayakan terus meningkat).