Beberapa
waktu belakangan, kebijakan Transaksi Non Tunai, Aksi PPK (Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi), dan Maturitas SPIP (Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah) menjadi bahan diskusi ASN di daerah. Beragam pemahaman tentang kebijakan
tersebut, mudah-mudahan dapat menjadi inisiasi lahirnya best
practice yang dapat meningkatkan
tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di daerah.
Aksi PPK adalah kegiatan atau program
yang dijabarkan dari Stranas PPK (Strategi
Nasional – Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) untuk dilakukan oleh Kementerian
/ Lembaga dan Pemerintah Daerah (Perpres Nomor 5 Tahun 2012). Penjabaran
tersebut secara umum dilakukan setiap tahun dan ditetapkan dengan Instruksi
Presiden (Inpres). Khusus tahun 2016 dan 2017, dijabarkan dalam periode
waktu 2 (dua) tahun, melalui Inpres
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun
2016 dan tahun 2017. Di beberapa daerah
Aksi PPK ini, dikoordinasikan oleh Bappeda dengan melibatkan APIP dan OPD
terkait lainnya.
Berdasarkan
Inpres Nomor 10 Tahun 2016, salah satu strategi
PPK (Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) adalah Strategi Pencegahan. Strategi
Pencegahan, terdiri dari 11 (sebelas) kelompok aksi, yang
memuat sekitar 23 jenis aksi. Salah satu kelompok aksi yaitu Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan
Keuangan, memuat 3 aksi (Aksi Nomor
17-19). Aksi Nomor 18 berupa “Percepatan implementasi transaksi non tunai
di-seluruh Kementerian / Lembaga dan Pemerintah Daerah”. Penanggungjawab
Aksi PPK Nomor 18 tersebut adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan Instansi Terkaitnya antara lain
: Pemerintah Daerah. Kriteria
keberhasilan aksi tersebut adalah menekan korupsi pada tahapan realisasi
anggaran pembangunan dan pengadaan barang dan jasa. Terdapat 3 (tiga) ukuran keberhasilan aksi tersebut, diantaranya : Terselesaikannya Peraturan Menteri Keuangan
dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengenai pembatasan transaksi tunai di
Kementerian / Lembaga dan Pemerintahan Daerah; Terbangunnya sistem evaluasi, monitoring realisasi anggaran
pembangunan dan pengadaan barang dan jasa.
Untuk pelaksanaan di tingkat Pemerintah Daerah, Kementerian Dalam Negeri sudah menerbitkan dua surat
edaran yaitu SE tertanggal 17 April 2017 dengan Nomor : 910/1866/SJ yang ditujukan kepada Gubernur, dan SE
tertanggal 17 April 2017 dengan Nomor 910/1867/SJ yang ditujukan
kepada Bupati / Wali Kota. SE tersebut berisi
6 poin, diantaranya memberi batas waktu pelaksanaan paling lambat 1 Januari 2018 ;
Kepala Daerah diberi kewenangan menetapkan kebijakan implementasi
transaksi non tunai serta rencana aksi atas pelaksanaan kebijakan dimaksud.
Kemudian,
Program yang menarik perhatian lain di
daerah adalah terkait Maturitas SPIP
(Sistem Pengendalian Intern Pemerintah).
Maturutas SPIP merupakan gambaran tingkat kematangan / kesempurnaan
penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah dalam mencapai tujuan
pengendalian intern sesuai PP Nomor 60
tahun 2008. Program tersebut, antara
lain meliputi penilaian dan perumusan
strategi untuk peningkatan Maturitas SPIP.
Tingkat Maturitas SPIP merupakan salah
satu indikator kinerja RPJMN 2015-2019 Sub-bidang Aparatur Negara (Buku II atau Lampiran Perpres Nomor 2 tahun 2015),
dimana pada tahun 2019 ditargetkan mencapai level 3 atau dengan status “Terdefinisi”
(kisaran level 0-5). Status Terdefinisi, dicapai apabila organisasi
pemerintahan sudah melaksanakan praktek pengendalian intern dan terdokumentasi
dengan baik, namun evaluasi atas pengendalian intern dilakukan tetapi belum terdokumentasi dengan baik. Program Maturitas SPIP tersebut difasilitasi
oleh BPKP sebagai instansi Pembina Penyelenggaraan SPIP (Pasal 59 ayat (2) PP
Nomor 60 Tahun 2008), sedangkan di
daerah dikoordinasikan oleh APIP
masing-masing daerah.
Penilaian
maturitas SPIP mempedomani Perka BPKP Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penilaian
Maturitas SPIP. Penilaian dilakukan
terhadap 5 unsur SPIP, dengan difokuskan pada 25 sub-unsur, dan masing-masing
sub-unsur memiliki 5 (lima) “gradasi” yang perlu dikonfirmasi keberadaannya
(seperti melalui pertanyaan yang didukung bukti). Setiap gradasi harus konsisten, dan meningkat apabila gradasi sebelumnya
dapat dipenuhi. Perihal
substansi-substansi yang perlu dikonfirmasi, pada masing –masing sub-unsur SPIP, ada yang diungkap langsung dan
ada yang secara tidak langsung (tersirat), sehingga perlu kreatifitas
pihak-pihak terkait untuk menentukan sesuai ketentuan yang berlaku
dan kondisi daerah.
Sebagai ilustrasi :
Untuk Sub-unsur ke-17 : “Otorisasi
Transaksi dan Kejadian Penting”. Contoh domain
/ wilayah substansi yang di
sebutkan yaitu keuangan, barang, kepegawaian, perizinan dan pendapatan. Pada gradasi pertama (level ke-satu) yang
perlu dikonfirmasi keberadaan aturan/pedoman / SOP terkait otorisasi transaksi
/ kejadian penting (tindakan / keputusan pejabat terkait). Selanjutnya pada gradasi yang tertinggi
(pertanyaan ke-lima), terkait “adanya pengembangan dalam penerapan aturan / pedoman / SOP secara terus menerus
sesuai dengan perubahan lingkungan strategis, dan telah dilakukan pemantauan otomatis
/online oleh pimpinan unit organisasi/ unit kerja atas otorisasi yg dilaksanakan.”
Jika
kita cermati terdapat “titik singgung” antara
kebijakan Aksi PPK “Transaksi Non Tunai” dengan Maturitas SPIP, Sub-unsur 17 “
Otorisasi Transaksi dan Kejadian Penting” pada domain keuangan. Apabila
kewenangan daerah dalam menetapkan
kebijakan implementasi transaksi non tunai dapat dioptimalkan, tentunya akan
tercipta suatu prosedur pembayaran non tunai yang terotorisasi dengan baik dan sekaligus
terdokumentasi. Jika daerah mau dan mampu
mengembangkan lebih lanjut, seperti dengan
membangun aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan maka terwujudlah ukuran keberhasilan ke-3 dari
aksi PPK (Terbangunnya sistem evaluasi, monitoring realisasi anggaran
pembangunan dan pengadaan barang dan jasa) dan sekaligus juga tercapai maturitas SPIP pada Sub-unsur ke-17, domain keuangan,
akan mencapai grade ke-5 (aturan transaksi keuangan dikembangkan dan
diimplementasikan sehingga dapat dipantau secara otomatis / online oleh pimpinan).
Apabila
arah pengembangan dapat dibangun secara akurat dan terintegrasi dengan
aplikasi-aplikasi yang lain (e-kinerja, dll), tentunya setiap pengeluaran belanja akan diketahui secara akurat tentang oleh siapa yang memiliki otoritas munculnya
beban belanja; berapa besarannya; kepada siapa belanja dikeluarkan; barang & jasa apa yang diperoleh oleh
pemerintah; berapa yang langsung
dimanfaatkan untuk kegiatan dan yang menjadi persediaan; bagaimana kinerjanya (seperti
layanan publik, peningkatan SDM aparatur, peningkatan sarana produksi
masyarakat, dll), kelompok masyarakat
mana yang memanfaatkan, dan dalam periode tertentu dapat diukur bagaimana
pengaruhnya terhadap indikator-indikator pembangunan.
Akhirnya,
dengan data-data pengeluaran yang jelas dan kinerja yang jelas maka unit-unit
cost pembangunan dapat diestimasi dan dikalkulasi secara cermat. Misalnya berapa biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan
nilai tambah sektor perternakan sebesar 1 %,
berapa biaya yang dibutuhkan meningkatkan derajat kesehatan sebesar 1 %, berapa biaya yang dibutuhkan untuk
meningkatkan mutu pendidikan sekitar 1 %, dst.
Selanjutnya, data –data tersebut dapat dibandingkan dan dianalisis,
apakah organisasi semakin efektif dan efisien, atau sebaliknya. Bukankah kita (organisasi) ingin terhindar dari kelompok orang-orang yang merugi sebagaimana disebutkan dalam Surat Al 'Ashr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar