Jumat, 03 November 2017

Transaksi Non Tunai





Beberapa waktu belakangan, kebijakan   Transaksi Non Tunai,  Aksi PPK (Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi),  dan  Maturitas SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) menjadi bahan diskusi ASN di daerah.   Beragam pemahaman tentang kebijakan tersebut, mudah-mudahan dapat menjadi inisiasi lahirnya   best practice  yang  dapat  meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di daerah.
Aksi PPK adalah  kegiatan atau program yang dijabarkan  dari Stranas PPK (Strategi Nasional – Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) untuk dilakukan oleh Kementerian / Lembaga dan Pemerintah Daerah (Perpres Nomor 5 Tahun 2012).   Penjabaran tersebut secara umum dilakukan setiap tahun dan ditetapkan dengan Instruksi Presiden (Inpres).  Khusus  tahun 2016 dan 2017, dijabarkan dalam periode waktu 2 (dua) tahun, melalui  Inpres Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan tahun 2017.   Di beberapa daerah Aksi PPK ini, dikoordinasikan oleh Bappeda dengan melibatkan APIP dan OPD terkait lainnya.
Berdasarkan Inpres Nomor 10 Tahun 2016,  salah satu strategi PPK (Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) adalah  Strategi Pencegahan.   Strategi Pencegahan, terdiri dari 11 (sebelas) kelompok  aksi,  yang memuat sekitar  23 jenis aksi.  Salah satu kelompok aksi yaitu  Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan, memuat  3 aksi (Aksi Nomor 17-19).  Aksi Nomor  18 berupa  “Percepatan implementasi transaksi non tunai di-seluruh Kementerian / Lembaga dan Pemerintah Daerah”.   Penanggungjawab Aksi PPK Nomor 18 tersebut adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan Instansi Terkaitnya antara lain : Pemerintah Daerah.  Kriteria keberhasilan aksi tersebut adalah menekan korupsi pada tahapan realisasi anggaran pembangunan dan pengadaan barang dan jasa.  Terdapat 3 (tiga) ukuran  keberhasilan aksi tersebut, diantaranya :  Terselesaikannya Peraturan Menteri Keuangan dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengenai pembatasan transaksi tunai di Kementerian / Lembaga dan Pemerintahan Daerah;  Terbangunnya sistem evaluasi, monitoring realisasi anggaran pembangunan dan pengadaan barang dan jasa.
Untuk pelaksanaan di tingkat Pemerintah Daerah, Kementerian  Dalam Negeri sudah menerbitkan dua surat edaran yaitu SE tertanggal 17 April 2017 dengan Nomor :  910/1866/SJ yang ditujukan kepada Gubernur,  dan  SE tertanggal  17 April  2017 dengan Nomor 910/1867/SJ yang ditujukan kepada Bupati / Wali Kota.   SE tersebut berisi 6 poin, diantaranya memberi batas waktu pelaksanaan paling lambat 1 Januari 2018 ;  Kepala Daerah diberi kewenangan menetapkan kebijakan implementasi transaksi non tunai serta rencana aksi atas pelaksanaan kebijakan dimaksud. 
Kemudian, Program yang menarik perhatian lain  di daerah adalah terkait  Maturitas SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah).  Maturutas SPIP merupakan gambaran tingkat kematangan / kesempurnaan penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah dalam mencapai tujuan pengendalian intern sesuai  PP Nomor 60 tahun 2008.  Program tersebut, antara lain meliputi penilaian dan perumusan strategi untuk peningkatan Maturitas SPIP.   Tingkat Maturitas SPIP merupakan salah satu indikator kinerja  RPJMN 2015-2019  Sub-bidang Aparatur Negara (Buku II  atau Lampiran Perpres Nomor 2 tahun 2015), dimana  pada tahun 2019  ditargetkan mencapai level 3 atau dengan status “Terdefinisi” (kisaran level 0-5).   Status Terdefinisi, dicapai apabila organisasi pemerintahan sudah melaksanakan praktek pengendalian intern dan terdokumentasi dengan baik, namun evaluasi atas pengendalian intern dilakukan tetapi  belum terdokumentasi dengan baik.   Program Maturitas SPIP tersebut difasilitasi oleh BPKP sebagai instansi Pembina Penyelenggaraan SPIP (Pasal 59 ayat (2) PP Nomor 60 Tahun 2008),  sedangkan di daerah dikoordinasikan oleh  APIP masing-masing daerah.
Penilaian maturitas SPIP mempedomani Perka BPKP Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penilaian Maturitas SPIP.  Penilaian dilakukan terhadap 5 unsur SPIP, dengan difokuskan pada 25 sub-unsur, dan masing-masing sub-unsur memiliki 5 (lima) “gradasi” yang perlu dikonfirmasi keberadaannya (seperti melalui pertanyaan yang didukung bukti).  Setiap gradasi harus konsisten,  dan meningkat apabila gradasi sebelumnya dapat dipenuhi.    Perihal substansi-substansi yang perlu dikonfirmasi, pada masing –masing  sub-unsur SPIP, ada yang diungkap langsung dan ada yang secara tidak langsung (tersirat), sehingga perlu kreatifitas pihak-pihak  terkait  untuk menentukan sesuai ketentuan yang berlaku dan kondisi daerah.
Sebagai ilustrasi :  Untuk  Sub-unsur ke-17 : “Otorisasi Transaksi dan Kejadian Penting”.  Contoh  domain  / wilayah  substansi yang di sebutkan yaitu keuangan, barang, kepegawaian, perizinan dan pendapatan.  Pada gradasi pertama (level ke-satu) yang perlu dikonfirmasi keberadaan aturan/pedoman / SOP terkait otorisasi transaksi / kejadian penting (tindakan / keputusan pejabat terkait).  Selanjutnya pada gradasi yang tertinggi (pertanyaan ke-lima), terkait “adanya pengembangan dalam penerapan aturan / pedoman / SOP secara terus menerus sesuai dengan perubahan lingkungan strategis, dan telah dilakukan pemantauan otomatis /online oleh pimpinan unit organisasi/ unit kerja atas otorisasi yg dilaksanakan.”
Jika kita cermati terdapat “titik singgung”  antara kebijakan Aksi PPK “Transaksi Non Tunai” dengan Maturitas SPIP, Sub-unsur 17 “ Otorisasi Transaksi dan Kejadian Penting” pada domain keuangan.  Apabila  kewenangan daerah dalam menetapkan kebijakan implementasi transaksi non tunai dapat dioptimalkan, tentunya akan tercipta suatu prosedur pembayaran non tunai  yang terotorisasi dengan baik dan sekaligus terdokumentasi.   Jika daerah mau dan mampu mengembangkan lebih lanjut,  seperti dengan membangun aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan maka terwujudlah ukuran keberhasilan ke-3 dari aksi PPK (Terbangunnya sistem evaluasi, monitoring realisasi anggaran pembangunan dan pengadaan barang dan jasa) dan sekaligus juga tercapai maturitas  SPIP pada Sub-unsur ke-17, domain keuangan, akan mencapai grade ke-5 (aturan transaksi keuangan dikembangkan dan diimplementasikan sehingga dapat dipantau secara otomatis / online oleh pimpinan).  
Apabila arah pengembangan dapat dibangun secara akurat dan terintegrasi dengan aplikasi-aplikasi yang lain (e-kinerja, dll), tentunya  setiap pengeluaran belanja  akan diketahui secara akurat tentang  oleh siapa yang memiliki otoritas munculnya beban belanja;  berapa besarannya;  kepada siapa belanja dikeluarkan;  barang & jasa apa yang diperoleh oleh pemerintah;  berapa yang langsung dimanfaatkan untuk kegiatan dan yang menjadi persediaan; bagaimana kinerjanya (seperti layanan publik, peningkatan SDM aparatur, peningkatan sarana produksi masyarakat, dll),  kelompok masyarakat mana yang memanfaatkan, dan dalam periode tertentu dapat diukur bagaimana pengaruhnya terhadap indikator-indikator pembangunan.
Akhirnya, dengan data-data pengeluaran yang jelas dan kinerja yang jelas maka unit-unit cost pembangunan dapat diestimasi dan dikalkulasi secara cermat.  Misalnya berapa biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan nilai tambah sektor perternakan sebesar 1 %,  berapa biaya yang dibutuhkan meningkatkan derajat kesehatan sebesar 1 %,  berapa biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan sekitar 1 %, dst.   Selanjutnya, data –data tersebut dapat dibandingkan dan dianalisis, apakah organisasi semakin efektif dan efisien, atau sebaliknya.  Bukankah kita (organisasi) ingin terhindar dari kelompok orang-orang yang merugi sebagaimana disebutkan dalam Surat Al 'Ashr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar