Dimensi pendidikan
bukan lagi sumber pertumbuhan yang favorit dalam mendongkrak nilai IPM daerah.
Tahun 2014, telah terjadi perubahan
yang cukup mendasar dalam metode
perhitungan terutama terhadap indikator-indikator
pada
dimensi
pendidikan serta cara perhitungan indeks-nya.
Perubahan indikator
pada dimensi pendidikan yaitu (a). Indikator Angka Melek Huruf
(AMH), diganti dengan indikator Harapan Lama Sekolah (HLS).
(b) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang dalam metode lama diukur dengan menggunakan kombinasi Angka Partisipasi Kasar (APK) dengan
cakupan penduduk usia 15 tahun keatas, diubah menjadi menjadi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), dengan cakupan
penduduk berusia 25 tahun ke atas.
Ketika masih menggunakan indikator AMH, banyak
pemerintah daerah menggunakan strategi meningkatkan IPM antara lain : memacu
peningkatan pemberantasan buta huruf dan peningkatan APK SD, karena
dengan pernah bersekolah di jenjang SD
maka penduduk akan melek huruf. Pemakaian
metode baru dengan indikator HLS, maka
strategi meningkatkan APK
SD, SLTP dan SLTA saja belum cukup untuk mencapai tingkat pertumbuhan
indeks tersebut secara cepat. Pada
tahun 2016, nilai indeks HLS Kabupaten
/ Kota terendah sebesar 11,74 tahun (artinya penduduk / anak usia 7 tahun ke atas pada daerah tersebut berpeluang menempuh pendidikan
hingga kelas III SLTA (belum tamat). Dengan demikian upaya meningkatkan APK SD,
SLTP dan SLTA hanya sekedar mempertahankan nilai HLS dikisaran angka 12 tahun. Namun apabila menginginkan pertumbuhan indeks HLS
tersebut, maka perlu strategi memacu angka melanjutkan ke jenjang perguruan
tinggi. Semakin banyak tamatan SLTA melanjutkan dan
menamatkan pendidikan pada jenjang Diploma, Sarjana serta Pasca Sarjana, maka
Harapan Lama Sekolah semakin meningkat secara signifikan.
Begitu juga perubahan indeks RLS (usia 15 +) menjadi indeks RLS (usia 25+),
membutuhkan penambahan strategi baru disamping strategi perluasan terhadap akses
pendidikan SLTP dan SLTA. Dengan metode
baru, lama bersekolah suatu kelompok
umur akan terhitung ketika generasi tersebut telah berusia 25 ke atas. Misalkan untuk perhitungan indeks RLS (usia 25+) tahun 2017, yang akan
menjadi sumber pertumbuhan utama yaitu generasi yang lahir sekitar tahun
1992 yang menamatkan SLTP pada
tahun 2007 atau kemudian
menamatkan SLTA pada tahun 2010, dan
seterusnya, dengan nilai indeks RLS (usia 25 +) berkisar 9 s/d 18 tahun tergantung ijazah yang dimiliki. Jika suatu daerah pada tahun 2016, memiliki
nilai indeks RLS (usia 25 +) sebesar
8,59 tahun berarti secara rata-rata penduduk usia 25 ke atas di daerah tersebut
mengenyam pendidikan setara kelas VIII SLTP.
Indeks
HLS sebagai gambaran peluang
penduduk usia 7 tahun keatas untuk mengenyam pendidikan. Sedangkan
Indeks RLS (usia 25 +) ini merupakan gambaran stock pendidikan yang
dimiliki oleh suatu wilayah / daerah, sebagai hasil akumulasi dari seluruh
kebijakan-kebijakan, termasuk kebijakan
tahun-tahun sebelumnya. Secara implisit, kedua indeks tersebut berupaya
menggambarkan secara lebih komprehensif bagaimana keterpaduan antara perluasan akses
dan peningkatan kualitas pendidikan,
seperti halnya dua sisi mata uang. Meskipun akses pendidikan terbuka luas, jika kualitasnya
rendah, maka peningkatan angka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi sulit dicapai atau bahkan dapat berkurang, sehingga akhirnya sulit untuk
meningkatkan indeks Harapan Lama Sekolah (HLS) maupun Rata-rata Lama Sekolah
(usia 25 +).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar