
Untuk mengatasi tantangan tersebut, maka dilakukan berbagai revisi terhadap dokumen perencanaan termasuk Renstra OPD. IKU (Indikator Kinerja Utama) salah satu komponen yang menjadi target revisi, namun dalam penyusunan IKU tersebut, belum semua OPD mampu menunjukan adanya cascading dan alignment. Kelemahan OPD dalam melakukan cascading dan alignment, tidak hanya mempengaruhi capaian nilai akuntabilitas kinerja, namun juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk inefisiensi dalam menetapkan program dan kegiatan
Cascading sering
didefinisikan sebagai suatu proses penjabaran dan penyelarasan Sasaran
Strategis (SS), Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Targetnya dari level organisasi /unit organisasi yang lebih
tinggi ke level organisasi/unit setingkat lebih rendah (secara berjenjang). Dalam beberapa literatur, cascading disebut juga vertical
alignment. Metode cascading
didesain untuk menghubungkan
Sasaran Strategis (SS) dan IKU beserta Targetnya, dari tingkat organisasi tertinggi dengan tingkat dibawahnya hingga ke tingkat
pegawai. Namun sebagian
ahlinya pendapat, cascading
sudah cukup sampai
pada tingkatan eselonering terendah.
Sebagai
ilustrasi, dalam RPJMD terdapat SS “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, dan
IKU “Pertumbuhan ekonomi” dengan target sebesar 6%. Mempedomani struktur ekonomi daerah tersebut ditetapkan 2
(dua) lapangan usaha sebagai sumber pertumbuhan yaitu Pertanian (distribusinya
50 %) dan Perdagangan (distribusinya 25%), dan PDRB (ADHK) tahun sebelumnya sebesar
Rp.200 T. Selanjutnya OPD Pertanian melakukan cascading
sehingga menghasilkan SS “Meningkatkan
poduktivitas lahan sawah ” dan IKU
“Meningkatkan produksi padi sawah” dengan target 5,4 %. Sedangkan OPD Perdagangan, meng-cascading menjadi SS “Meningkatkan kesejahteraan pedagang”,
dengan IKU “ Meningkatkan pertumbuhan
sektor perdagangan “ dengan target IKU sebesar 9%. Kedua OPD telah melakukan cascading, namun OPD Perdagangan, lebih berhasil dibandingkan OPD Pertanian, karena OPD Perdagangan telah melakukan penjabaran setingkat ke bawah. Sementara OPD pertanian, melakukan penjabaran setara dua s/d tiga tingkat kebawah (level Bidang atau Sub-Bidang).
Secara
umum proses cascading dapat dilakukan
dengan dua metode yaitu metode langsung (direct
method) dan metode tidak langsung (indirect
metode). Metode langsung dilakukan
dengan menjadikan SS dan IKU organisasi
diatasnya sebagai SS dan IKU organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian makna (definisi)
maupun penyebutan (penamaan) SS dan IKU adalah sama pada kedua organisasi / unit tersebut. Begitu juga dengan target capaian IKU harus
sama, baik
dalam besaran target, periode pelaporan, maupun satuan pengukurannya. Misalnya dalam RPJMD, terdapat SS
“Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dengan IKU “meningkatnya harapan
hidup 3% (dari 68,0 tahun menjadi 70,4 tahun), maka Dinas Kesehatan dapat
memakai secara langsung SS dan IKU dari RPJMD tersebut, sepanjang hanya dinas
kesehatan yang menyelenggarakan urusan
kesehatan. Begitu juga SS dan IKU OPD,
dapat digunakan secara langsung oleh Bidang/ Bagian, sepanjang hanya satu
bidang saja yang menyelenggarakan sub-urusan terkait.
Selanjutnya,
metode tidak langsung (indirect method),
dimana penyusunan SS dan IKU pada suatu
OPD/Bagian/unit dilakukan dengan mengembangkan SS dan IKU pada tingkat
organisasi yang lebih tinggi dengan mengacu pada tugas, fungsi dan ruang lingkup unit
yang bersangkutan. Seluruh target
capaian IKU pada tingkat organisasi yang lebih tinggi diturunkan (dibagi habis)
ke unit di bawahnya sesuai dengan proporsi masing-masing unit. Metode penamaan SS dan IKU dalam indirect
method adalah (a) Penamaan IKU sama jika ruang lingkupnya hanya dibedakan
atas wilayah kerja; (b). Penamaan IKU berbeda jika ruang lingkupnya dapat dibedakan berdasarkan sektor.
Selain
cascading, dalam penyusunan SS, IKU dan Targetnya juga dibutuhkan
adanya horizontal alignment (sering
disebut aligment) yaitu proses penyelarasan
SS, IKU dan targetnya antar OPD / Bagian / unit-unit yang setingkat. Dalam level daerah,
perlu keselarasan SS, IKU beserta targetnya antar OPD-OPD yang memiliki keterkaitan. Selanjutnya pada tingkatan OPD,
perlu keselarasan antar Bidang / Bagian, atau antar sub bidang – sub bidang dalam suatu bidang, dan lain-lainnya.
Sebagai
ilustrasi, melanjutkan contoh diatas, ketika cascading OPD Pertanian “belum
tepat”, maka SS, IKU dan targetnya
tersebut “tidak selaras secara horizontal” dengan SS, IKU dan target pada OPD
Perdagangan. Hal tersebut akan
menyulitkan penyusun LAKIP daerah, karena
sulit dikonsolidasi menjadi SS, IKU dan target pada level Daerah. Sekiranya OPD Pertanian membuat SS “Meningkatkan
kesejahteraan petani”, dengan IKU “Meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian”,
dengan target 7,5% (dari Rp.100 T menjadi Rp.107,5 T). Jika
pada akhir tahun, kedua OPD mencapai
targetnya masing-masing ( 100 %) maka telah terjadi tambahan PDRB (ADHK)
sebesar Rp. 12 T (OPD Perdagangan sekitar Rp.4,5 T dan OPD Pertanian sekitar
Rp.7,5 T) atau sekitar 6% ( (Rp.12 T /
Rp.200 T) X 100%), dimana sektor lain (sekitar 25% ) diasumsikan tidak
mengalami pertumbuhan yang berarti.
Dalam
literature, proses cascading dan alignment dapat dilakukan dengan 2 (dua)
cara yaitu secara bersamaan (simultan) dan secara berurutan (sekuensial). Dalam pelaksanaannya kedua proses tersebut
sulit dipisahkan, apakah murni dilakukan secara bersamaan(simultan) atau secara
berurutan (sekuensial). Proses secara simultan, diantaranya dapat dilakukan saat penyusunan RPJMD yaitu Tahapan Penyusunan Rancangan RPJMD, Sub-Tahapan
Verifikasi dan Integrasi Renstra OPD kedalam
RPJMD (Lampiran III Permendagri 54 tahun
2010). Perumusan secara sekuensial (berurutan), dapat dilakukan diantaranya
pada tahapan penyusunan Rancangan Renstra OPD, sebelum Renstra OPD menjadi
bahan Penyusunan Rancangan RPJMD.
Setelah cascading
dan alignment maka terbangunlah
pohon kinerja pada level daerah, dan level OPD. Dalam tataran konsep anggaran berbasis
kinerja, pohon kinerja tersebut akan
menjadi dasar mengusulkan atau menyusun Program dan Kegiatan. Bukan sebaliknya, Program dan Kegiatan yang
disusun lebih dahulu, kemudian baru dicarikan kinerjanya dan dihubung-hubungkan
menjadi seperti pohon kinerja. Secara
parsial (dalam satu OPD) mungkin terlihat “mirip”, tetapi akan
mengalami ketimpangan ketika menyusun pengukuran dan pelaporan kinerja daerah
(LAKIP Pemda-nya). (Dari Berbagai Sumber).
Baca Juga : Renstra OPD : Penentu Awal Akuntabilitas Kinerja Pemda (http://palantabirokrasi.blogspot.co.id/2017/08/renstra-opd-penentu-awal-akuntabilitas.html)
Baca Juga : Renstra OPD : Penentu Awal Akuntabilitas Kinerja Pemda (http://palantabirokrasi.blogspot.co.id/2017/08/renstra-opd-penentu-awal-akuntabilitas.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar