Delapan
tahun lebih usia regulasi terkait IKU, namun persoalan ukuran kinerja (keberhasilan) yang
jelas dan terukur masih menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas
kinerja Pemda. Implementasi IKU
dimulai dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor : PER/20/11/2008 tentang
Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama.
Dalam peraturan tersebut, IKU didefinisikan sebagai ukuran keberhasilan
dari suatu tujuan dan sasaran strategis instansi pemerintah. Sejalan dengan waktu definisi IKU mengalami
perkembangan, dimana pada beberapa kementerian dan lembaga, IKU didefinisikan
sebagai ukuran kuantitatif dan/ atau kualitatif
yang akan memberikan informasi sejauhmana sasaran strategis yang telah
ditetapkan dapat diwujudkan. Definisi
terakhir ini, lebih berfokus terhadap
indikator dari sasaran strategis.
Pengelompokan
IKU bermacam-macam, sesuai karakter/sifat maupun proses pencapaiannya. Berdasarkan bentuk IKU dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu IKU input, IKU output
dan IKU outcome. IKU input
merupakan IKU paling sederhana, dimana mengukur besaran input-input yang
digunakan untuk melaksanakan program-program, seperti alokasi dana. IKU output adalah IKU yang mengukur keluaran (produk) atas penggunaan
input-input. IKU outcome adalah IKU yang mengukur manfaat yang diterima oleh stakeholders sebagai hasil dari kegiatan
organisasi. IKU input dan IKU output, sering dikatakan berfokus kedalam
organisasi (internal). Sedangkan IKU outcome,
berfokus pada pihak eksternal atau keluar organisasi. Dalam evaluasi LAKIP (Permenpan-RB 20 Tahun
2013) mengkehendaki instansi pemerintah untuk menyusun, mereviu dan
menyempurnakan perencanaan, pengukuran dan pelaporan kinerja yang berfokus pada
hasil (outcome).
Dalam
Penyusunan IKU harus diperhatikan tingkat validitasnya. Validitas suatu IKU ditentukan oleh tingkat keterkaitan IKU dengan SS
(Sasaran Strategis) yang ingin dicapai.
Keterkaitan ini dinilai berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan pada
masing-masing urusan/sektor. Ada 3
(tiga) kelompok validitas suatu IKU yaitu exact,
proxcy dan activity.
Validitas
exact, merupakan ukuran yang ideal untuk mengukur hasil pencapaian sasaran
strategis, dan biasanya menggunakan indikator-indikator yang berkaitan
secara langsung dan telah teruji secara ilmiah.
Misalkan, SS “Penurunan Tingkat Pengangguran”, maka terdapat beberapa indikator untuk
mengukurnya, seperti tingkat
pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran
terbuka termasuk IKU exact.
Tingkat
validitas proxcy, jika mengukur hasil secara tidak langsung atau
menggunakan sesuatu ukuran yang diasumsikan dapat mewakili hasil yang ingin
dicapai. Misalkan SS : “Meningkatnya
kualitas kehidupan beragama”. Untuk
mengukur kualitas kehidupan beragama, secara langsung sangat sulit, namun
ada indikator-indikator secara tidak langsung seperti persentase penduduk peserta ibadah haji, peserta ibadah kurban, dll. Jika
persentase penduduk peserta kurban dijadikan IKU, maka termasuk jenis
IKU proxcy.
Tingkat
validitas activity, jika mengukur jumlah, biaya atau waktu dari
program/kegiatan yang berdampak terhadap sasaran strategis yang ingin dicapai. Misalkan SS : “Meningkatnya tata kelola satuan
pendidikan”. Untuk mengukur peningkatan
tata kelola satuan pendidikan, dapat dipakai indikator seperti persentase sekolah yang lulus akreditasi baik, jumlah sekolah yang mengikuti akreditasi,
dll. Jika indikator yang dijadikan IKU adalah jumlah
sekolah yang mengikuti akreditasi, maka IKU-nya termasuk activity.
Tingkat
IKU yang dipilih seyogyanya adalah IKU dengan tingkat validitas exact, namun jika memang belum tersedia
maka dimungkinkan menggunakan validitas proxcy atau activity,
tetapi sebaik proporsinya dibawah dari
20% dari total IKU
yang digunakan.
Target IKU harus memenuhi beberapa hal, yaitu
SMART-C; Spesific (spesifik), Measureable (dapat diukur), Agreeable
(dapat disetujui), Realistic (realistis, dapat dicapai namun menantang),
timebound (memiliki jangka waktu), continuously improve
(diupayakan terus meningkat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar