Permendagri Nomor 54 tahun 2010, tidak membahas indikator kinerja mandiri dalam konteks indikator kinerja pada tingkatan daerah (RPJPD, RPJMD dan RKPD), meskipun demikian jika ingin menerapkan adanya konsep cascading (indikator
menurun secara berjenjang dari level yang lebih tinggi ke level
dibawahnya), maka seyogyanya pada level daerah dapat juga disusun indikator
kinerja mandiri. Disamping itu, kebutuhan akan adanya indikator kinerja
mandiri merupakan realita atas keberagaman tingkatan dan kebutuhan pembangunan pada masing-masing
daerah. Keberagaman tersebut terimplementasi
dari pernyataan-pernyataan Tujuan / Sasaran
dalam dokumen perencanaan daerah (seperti RPJMD) yang bersifat relatif
dan sulit dikuantifikasi dengan
indikator yang ada (diukur secara akurat). Misalnya
pernyataan Sasaran : “Meningkatnya kompetensi ASN”; “Meningkatnya transparansi penyelenggaraan pemerintahan
daerah”; “Meningkatnya kualitas
pelayanan publik”, dll.
Secara
sederhana, penyusunan indikator kinerja mandiri (termasuk target dan
metode pengukurannya) diutamakan untuk
memberikan gambaran atas pelayanan utama.
Dengan demikian indikator kinerja mandiri tersebut akan difungsikan sebagai : (1) indikator kinerja utama (IKU) pada tingkatan
daerah; (2) indikator IKU OPD yang akan menjadi yang pendorong tercapainya IKU
daerah. Apabila indikator kinerja
mandiri yang disusun akan menjadi IKU
pada tingkatan daerah, maka perlu diperhatikan karakteristik indikator tersebut,
seperti indikator komposit (campuran), bersifat
outcome
(hasil), dll. Selanjutnya
jika indikator kinerja mandiri tersebut akan menjadi IKU pada tingkatan OPD,
dan akan menjadi IKU pendorong IKU daerah, maka perlu diperhatikan keterkaitan dan keselarasan dengan IKU
daerahnya.
Ilustrasi
dari indikator kinerja mandiri yang akan dijadikan
IKU daerah. Misalkan dalam RPJMD suatu terdapat
Tujuan : “Terwujudnya kompetensi ASN sesuai ketentuan, dengan target
sebesar 95% (asumsi pada kondisi
perencanaan hanya 60% ASN yang
memiliki kompetensi sesuai bidang tugasnya)”.
Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan salah satu Sasaran “Meningkatnya
kompetensi ASN sesuai dengan jabatan masing-masing, dengan target peningkatan 5 % per tahun”. Kemudian,
Strateginya : “Mengirim / mendiklatkan ASN untuk
mengikuti diklat teknis
sesuai standar jabatan”.
Selanjutnya dipilih 3 (tiga) dengan arah kebijakan yaitu arah kebijakan
(1) : “Meningkatkan kompetensi jabatan struktural melalui diklat kepemimpinan”; arah kebijakan (2) : “Meningkatkan
kompetensi jabatan fungsional tertentu (guru dan tenaga kesehatan)”; arah kebijakan (3) : “Meningkatkan kompetensi
jabatan fungsional lainnya”. Jadi untuk
level Daerah dapat disusun indikator kinerja mandiri berupa Persentase
Peningkatan Kompetensi Standar ASN Pemangku Jabatan Struktural,
Fungsional Tertentu dan Fungsional Lainnya. Selanjutnya untuk metode perhitungannya, dapat
disusun formula matematisnya.
Disamping
itu berbagai variasi indikator kinerja
mandiri yang dapat disusun, sesuai
dengan pernyataan –pernyataan Tujuan, Sasaran, Strategi, dan Arah Kebijakan
yang terdapat dalam dokumen perencanaan daerah maupun OPD. Apabila
suatu daerah memiliki kebijakan bahwa
setiap ASN yang diserahi tugas tertentu perlu memiliki kompetensi tambahan (misalnya : Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK)-OPD harus
mengikuti Diklat/Kursus Keuangan Daerah), maka indikator kinerja mandiri yang
disusun menyesuaikan dengan kebijakan
tersebut. Jika kita menggunakan
ilustrasi di atas, maka indikator kinerja mandiri akan berubah menjadi : “Persentase Peningkatan Kompetensi ASN
Pemangku Jabatan Struktural, Fungsional Tertentu, Fungsinal Lainnya dan
Pemangku Jabatan Pelaksana lainnya”. Begitu
juga, apabila pernyataan tujuan memuat
substansi “Peningkatan kapasitas ASN”, maka indikator kinerja mandiri yang disusun
seyogyanya ditambahkan unsur jenjang
pendidikan (biasa dipakai rata-rata lama
sekolah ASN) secara tertimbang/proporsional.
Ilustrasi
dari indikator kinerja mandiri yang akan menjadi IKU OPD yang menjadi
pendorong IKU daerah. Misalkan
dalam RPJMD suatu terdapat Tujuan :
“Terwujudnya transparansi
penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai ketentuan, dengan
target terlayaninya seluruh permintaan informasi publik sebesar
100% (asumsi kondisi saat
perencanaan masih 50 %)“. Untuk
mencapai tujuan tersebut ditetapkan
salah satu Sasaran “Meningkatkan transparansi
penyelenggaraan pemerintahan daerah,
dengan target peningkatan 10 % per tahun”. Kemudian,
Strateginya : “Meningkatkan pengelolaan informasi publik”. Selanjutnya
dipilih 3 (tiga) Arah Kebijakan : (1) “Meningkatkan pengungkapan informasi publik (disclosure)”; arah kebijakan
(2) : “Meningkatkan ketepatan media (media
effectiveness)”; arah kebijakan (3)
: “Meningkatkan kebenaran informasi (truth)
”.
Sesuai
dengan sasaran tersebut, maka daerah dapat menggunakan
Indeks Transparansi
Publik sebagai IKU pada tingkatan daerah. Selaras
dengan arah kebijakan nomor (1), maka OPD
terkait dapat menetapkan indikator kinerja mandiri, seperti
“Persentase Peningkatan Pengungkapan Informasi Publik”, yang selanjutnya dijadikan IKU OPD
yang menjadi pendorong IKU daerah yaitu Indeks Transparansi Publik. Agar persentase pengungkapan informasi publik tersebut
dapat diukur, maka PPID secara bersama-sama OPD (selaku Badan Publik) terlebih dahulu mengidentifikasi
seluruh jenis-jenis informasi yang termasuk informasi publik yang
dikelola oleh masing-masing OPD,
kemudian dikonsolidasi menjadi informasi publik daerah, sehingga dapat diukur
persentase pengungkapannya.
Keberadaan
indikator kinerja mandiri yang akurat sangat penting dalam mengisi kekosongan
indikator kinerja untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja organisasi secara administratif,
karena secara umum indikator kinerja merupakan bagian dari proses administrasi yang
dapat menggambarkan bagaimana suatu organisasi memahami dan menjawab kebutuhan masyarakat dengan memberikan layanan publik secara akurat,
dalam lingkup kewenangan yang dimiliki organisasi tersebut.