Kadangkala
masih terdapat “keraguan” dalam membedakan antara IKU
dengan IKK, apalagi IKU
sering disebut juga Key Performance Indicator (KPI), yang
apabila diterjemahkan secara “bebas”
memiliki arti yang sama dengan Indikator Kinerja Kunci (IKK). Namun
jika kita, mencoba mengembalikan “pengertian” kepada ketentuan yang berlaku,
maka IKU dan IKK memiliki perbedaan. IKK disusun dan ditetapkan
oleh Instansi Pembina, sehingga
jumlah dan bentuk IKK beserta data pendukung maupun cara perhitungannya sudah diformulasi sedemikian melalui pedoman
yang ditetapkan oleh Instansi Pembina tersebut.
Sedangkan IKU, disusun dan
ditetapkan sendiri oleh setiap organisasi untuk mengukur keberhasilan
organisasi tersebut secara menyeluruh terkait pelaksanaan tugas
dan fungsinya. Dengan demikian, jumlah dan
bentuk IKU serta data-data kinerja pendukung yang dibutuhkan akan bervariasi antar masing-masing Pemda / Organisasi, dan dipengaruhi oleh kebijakan masing-masing
daerah.
Penyusunan
IKU Pemda bersifat otonom, dan sesuai juknisnya dapat membentuk Tim Penyusun
terdiri dari unsur yang berasal
dari Setda, OPD Perencanaan, OPD Pengawasan, dan unit
kerja lain sesuai kebutuhan. IKU yang
disusun seyogyanya mampu menggambarkan keberhasilan organisasi secara
menyeluruh. Agar penyusunan IKU
maksimal, maka Tim Penyusun perlu mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut : (1) Substansi dari Tujuan dan Sasaran yang ingin
diwujudkan (2) Strategi dan Arah Kebijakan; (3). Tingkat validitas IKU; (4) Ketersediaan data kinerja. (5)
Sinkronisasi dengan informasi kinerja yang dibutuhkan oleh sistem pelaporan.
Pertama,
substansi
dari tujuan dan sasaran. Secara prosedural, pemahaman terhadap substansi dari Tujuan/ Sasaran merupakan tahapan
pertama dalam penyusunan
IKU. Dalam Permenpan Nomor 20 Tahun
2008, disebut kegiatan klarifikasi atas sesuatu yang menjadi kinerja
utama, pernyataan hasil (result statement)
atau Tujuan / Sasaran yang ingin dicapai.
Namun dalam praktek, Tim penyusun
sering “mengabaikannya”, dan langsung ke tahap menyusun Daftar Awal IKU yang mungkin dapat digunakan, baik dari
dokumen perencanaan yang ada maupun dari
usulan masing-masing OPD. Proses demikian sering membuat Tim Penyusun
“terjebak”, dalam kondisi hanya melakukan kompilasi, dan akhirnya IKU yang ditetapkan belum dapat menggambarkan
secara menyeluruh keberhasilan
pembangunan dan sesuai dengan kondisi riil dalam masyarakat.
Ilustrasi,
bagaimana memahami substansi dari Tujuan / Sasaran, sebagai berikut : Misalnya suatu RPJMD memuat : Tujuan
(T) “Menurunkan pengangguran dan kemiskinan, sesuai target
nasional”, kemudian ditetapkan dua
sasaran yaitu Sasaran-1 : “Menurunnya pengangguran sebesar x %; dan
Sasaran-2 : “Menurunkan kemiskinan sebesar y %”. Apabila
IKU ditetapkan pada level Sasaran, maka minimal dibutuhkan 2 (dua) IKU. Tetapi jika kita mencoba memahami substansi dari Sasaran-1, (menurunkan pengangguran), maka secara riil yang ingin
dicapai yaitu berkurangnya jumlah penduduk
/ angkatan kerja yang tidak / belum memiliki pekerjaan (disebut juga dengan pengangguran terbuka), dan bertambahnya
jumlah penduduk / angkatan kerja yang bekerja diatas 40 jam per minggu (berkurangnya jumlah
penduduk yang setengah menganggur/bekerja kurang dari 40 jam per minggu),
sehingga minimal dibutuhkan 2 (dua) IKU. Begitu
juga untuk Sasaran-2, maka yang ingin
dicapai yaitu berkurangnya jumlah penduduk yang memiliki rata-rata
pendapatan per kapita dibawah garis kemiskinan, dan bertambahnya jumlah
penduduk miskin yang mampu meningkatkan
pendapatan per kapita sehingga mendekati /sedikit dibawah garis
kemiskinan ( sering disebut kedalaman kemiskinan). Dengan demikian, untuk 1 (satu) Tujuan, 2
Sasaran dalam RMPJD. diperkirakan membutuhkan sekitar 4 (empat) IKU.
Kedua,
Strategi dan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai Tujuan / Sasaran.
Melanjutkan
contoh sebelumnya, sekiranya untuk mencapai Sasaran-1, ditetapkan 1 (satu) Strategi-1 yaitu “Menciptakan lapangan kerja baru”, dan Arah Kebijakan-1
: “Menumbuhkan wirausahawan baru pada dua sektor unggulan yaitu sektor
peternakan dan perikanan”. Berdasarkan Strategi-1 dan Arah Kebijakan-1 tersebut, maka untuk
Sasaran-1, cukup memakai 1
(satu) IKU saja yaitu IKU-1 : “Menurunnya
tingkat pengangguran terbuka, dengan target sebesar x %”. Selanjutnya jika untuk mencapai Sasaran-1, ditambah dengan Strategi-2
: ”Meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor perkebunan”, dengan Arah Kebijakan-2 : “Mengembangkan
pengolahan karet di tingkat petani”, maka memakai IKU-1 saja belum
cukup, karena dengan pengembangan
pengolahan karet di tingkat petani, akan menambah beban kerja dan sekaligus
dapat menambah jam kerja petani tersebut atau membuka kesempatan kerja
baru. Dlam kondisi demikian maka disamping
menggunakan IKU-1, juga diperlukan IKU-2 : misalnya “Berkurangnya jumlah penduduk yang
bekerja dibawah 40 jam per minggu,
sebesar y %”.
Ketiga,
tingkat validitas IKU. Semakin tinggi
validitas IKU, berarti semakin kuat indikator tersebut menggambarkan kondisi
yang sebenarnya di lapangan / dalam masyarakat.
Dalam contoh diatas, IKU-1 dan IKU-2 termasuk
IKU exact (validitasnya
tinggi) dan biasanya dihitung oleh lembaga resmi, sehingga cukup memadai
menggambarkan pencapaian Sasaran -1.
Keempat,
ketersediaan data kinerja. IKU memiliki
target kinerja sehingga membutuhkan data-data kinerja untuk menghitung
pencapaian targetnya. Sekiranya
data-data kinerja sulit / belum mampu disediakan pada saat penyusunan Laporan, maka seyogyanya
disusun IKU lainnya sebagai tambahan
atau Sub-IKU. Sebagai ilustrasi, jika kesulitan data kinerja untuk mengukur IKU-1 (Menurunnya
Tingkat Pengangguran Terbuka, sebesar x %), maka dapat menambahkan indikator lain sebagai IKU seperti “Penurunan jumlah pencari kerja yang
terdaftar”, atau “Persentase jumlah
pencari kerja yang telah tersalurkan”.
Tim
Penyusun harus, cermat dalam memahami indikator lain tersebut agar tidak
berbias. Misalnya, jika ingin menjadikan
“Penurunan jumlah pencari kerja yang terdaftar”, sebagai IKU untuk Sasaran-1, maka harus
dipastikan dulu bahwa pada daerah tersebut hampir seluruh pencari kerja
mendaftarkan diri ke instansi terkait. Bagaimana
kita mengujinya, antara lain dapat dengan mempelajari data tahun-tahun
sebelumnya, misalnya jika data resmi BPS melaporkan jumlah pengangguran terbuka
hampir sama dengan jumlah pencari kerja yang terdaftar. Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka pemakaian IKU tambahan tersebut akan
berbias untuk mengukur Sasaran-1.
Misalnya, jumlah pencari kerja
yang terdaftar menurun w %, sehingga ditafsirkan tingkat pengangguran terbuka
menurun, padahal penurunan tersebut disebabkan banyaknya pencari kerja yang
tidak mendaftar. Solusi untuk kondisi,
terkait sulitnya ketersediaan data kinerja, atau sulitnya indikator yang setara,
maka Tim Penyusun dapat membangun Indikator Kinerja Mandiri (Permendagri Nomor 54 Tahun 2010) dan menjadikan indikator tersebut sebagai IKU
tambahan.
Kelima,
sinkronisasi dengan informasi kinerja
yang dibutuhkan oleh sistem pelaporan yang telah diatur sesuai dengan
ketentuan, seperti pelaporan kinerja, penyelenggaraan pemerintahan daerah, program-program prioritas
secara regional dan nasional, serta pelaporan lainnya. Misalnya sinkronisasi antara pelaporan kinerja
dengan program prioritas nasional. Seperti
kita ketahui untuk Tahun 2017, salah
satu sasaran pembangunan nasional yaitu pencapaian tingkat pengangguran untuk
wilayah sumatera sekitar 5,0%, maka agar terjadi sinkronisasi seyogyanya daerah
juga memakai IKU “Penurunan Tingkat Pengangguran, sebesar x %”. Artinya jika tingkat pengangguran tahun
sebelumnya sekitar 6,3 %, maka target IKU seyogyanya minimal 1,3%.
IKU
sebuah instrumen, yang akan menuntun bagaimana pembangunan diarahkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. IKU yang akurat memungkinkan Pemerintah
Daerah, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja serta meningkatkan
akuntabilitasnya.