Jumat, 29 September 2017

Mengestimasi Kebutuhan IKU Pemda





Kadangkala masih terdapat “keraguan” dalam membedakan  antara  IKU  dengan IKK,  apalagi  IKU  sering disebut juga  Key Performance Indicator (KPI), yang apabila diterjemahkan secara “bebas”  memiliki arti  yang sama dengan  Indikator Kinerja Kunci (IKK).   Namun jika kita, mencoba mengembalikan “pengertian” kepada ketentuan yang berlaku, maka IKU dan IKK memiliki perbedaan.    IKK  disusun  dan  ditetapkan oleh  Instansi Pembina,  sehingga  jumlah dan bentuk IKK beserta data pendukung maupun  cara perhitungannya  sudah diformulasi sedemikian melalui pedoman yang ditetapkan  oleh Instansi Pembina  tersebut.   Sedangkan IKU, disusun dan ditetapkan sendiri  oleh  setiap organisasi untuk mengukur keberhasilan organisasi  tersebut  secara menyeluruh terkait pelaksanaan tugas dan fungsinya.  Dengan demikian,  jumlah dan  bentuk IKU serta data-data kinerja pendukung yang dibutuhkan  akan bervariasi antar masing-masing  Pemda / Organisasi,  dan dipengaruhi oleh kebijakan masing-masing daerah.
Penyusunan IKU Pemda bersifat otonom, dan sesuai juknisnya  dapat membentuk   Tim Penyusun  terdiri dari unsur  yang berasal dari  Setda,  OPD Perencanaan, OPD Pengawasan, dan unit kerja lain sesuai kebutuhan.   IKU yang disusun seyogyanya mampu menggambarkan keberhasilan organisasi secara menyeluruh.  Agar penyusunan IKU maksimal, maka  Tim Penyusun perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (1) Substansi dari Tujuan dan Sasaran yang ingin diwujudkan (2) Strategi dan Arah Kebijakan; (3). Tingkat validitas IKU;  (4) Ketersediaan data kinerja. (5) Sinkronisasi dengan informasi kinerja yang dibutuhkan oleh sistem pelaporan.
Pertama,   substansi  dari tujuan dan sasaran.  Secara prosedural,  pemahaman terhadap  substansi dari Tujuan/ Sasaran merupakan tahapan  pertama  dalam  penyusunan IKU.  Dalam Permenpan Nomor 20 Tahun 2008, disebut  kegiatan  klarifikasi atas sesuatu yang menjadi kinerja utama, pernyataan hasil (result statement) atau  Tujuan / Sasaran yang ingin  dicapai.  Namun dalam praktek,  Tim penyusun sering “mengabaikannya”, dan langsung ke tahap menyusun Daftar Awal  IKU yang mungkin dapat digunakan, baik dari dokumen perencanaan yang ada maupun  dari usulan masing-masing OPD.   Proses demikian sering membuat Tim Penyusun “terjebak”, dalam kondisi hanya melakukan kompilasi, dan akhirnya   IKU yang ditetapkan belum dapat menggambarkan secara  menyeluruh keberhasilan pembangunan dan sesuai dengan kondisi riil dalam masyarakat.  
Ilustrasi, bagaimana memahami substansi dari Tujuan / Sasaran, sebagai berikut :  Misalnya suatu  RPJMD memuat  :  Tujuan (T)  “Menurunkan  pengangguran dan kemiskinan, sesuai target nasional”,  kemudian ditetapkan dua sasaran yaitu Sasaran-1  :  “Menurunnya  pengangguran sebesar  x %;  dan  Sasaran-2 : “Menurunkan  kemiskinan sebesar y %”.    Apabila IKU ditetapkan pada  level  Sasaran, maka minimal dibutuhkan  2 (dua) IKU.   Tetapi  jika kita mencoba memahami  substansi dari Sasaran-1,  (menurunkan  pengangguran), maka secara riil yang ingin dicapai  yaitu berkurangnya   jumlah penduduk / angkatan kerja yang tidak / belum  memiliki pekerjaan (disebut juga dengan  pengangguran terbuka), dan  bertambahnya   jumlah penduduk / angkatan kerja  yang bekerja diatas  40 jam per minggu (berkurangnya jumlah penduduk yang setengah menganggur/bekerja kurang dari 40 jam per minggu), sehingga minimal dibutuhkan 2 (dua) IKU.    Begitu juga  untuk Sasaran-2, maka yang ingin dicapai  yaitu berkurangnya  jumlah penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita dibawah garis kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk miskin yang mampu meningkatkan  pendapatan per kapita sehingga mendekati /sedikit dibawah garis kemiskinan ( sering disebut kedalaman kemiskinan).  Dengan demikian, untuk 1 (satu) Tujuan, 2 Sasaran dalam RMPJD. diperkirakan membutuhkan sekitar 4 (empat) IKU.
Kedua, Strategi dan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai Tujuan / Sasaran.    Melanjutkan  contoh sebelumnya,  sekiranya untuk mencapai Sasaran-1,  ditetapkan  1 (satu) Strategi-1 yaitu  “Menciptakan lapangan kerja baru”, dan Arah Kebijakan-1 : “Menumbuhkan wirausahawan baru pada dua sektor unggulan yaitu sektor peternakan dan perikanan”.  Berdasarkan  Strategi-1  dan Arah Kebijakan-1 tersebut, maka  untuk  Sasaran-1,  cukup memakai 1 (satu)  IKU saja yaitu IKU-1 : “Menurunnya tingkat pengangguran terbuka, dengan target sebesar x %”.    Selanjutnya jika  untuk mencapai Sasaran-1, ditambah dengan Strategi-2 : ”Meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor perkebunan”,  dengan Arah Kebijakan-2  :  “Mengembangkan pengolahan karet di tingkat petani”,  maka  memakai IKU-1  saja  belum  cukup, karena dengan pengembangan pengolahan karet di tingkat petani, akan menambah beban kerja dan sekaligus dapat menambah jam kerja petani tersebut atau membuka kesempatan kerja baru.  Dlam kondisi demikian maka disamping menggunakan IKU-1, juga diperlukan IKU-2 :  misalnya “Berkurangnya jumlah penduduk yang bekerja  dibawah 40 jam per minggu, sebesar  y %”.
Ketiga, tingkat validitas IKU.  Semakin tinggi validitas IKU, berarti semakin kuat indikator tersebut menggambarkan kondisi yang sebenarnya di lapangan / dalam masyarakat.  Dalam contoh diatas, IKU-1 dan IKU-2  termasuk  IKU exact (validitasnya tinggi) dan biasanya dihitung oleh lembaga resmi, sehingga cukup memadai menggambarkan pencapaian Sasaran -1.
Keempat, ketersediaan data kinerja.  IKU memiliki target kinerja sehingga membutuhkan data-data kinerja untuk menghitung pencapaian targetnya.   Sekiranya data-data kinerja  sulit / belum  mampu disediakan  pada saat penyusunan Laporan,  maka  seyogyanya disusun  IKU lainnya sebagai tambahan atau Sub-IKU.  Sebagai ilustrasi,  jika kesulitan data kinerja  untuk mengukur  IKU-1  (Menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka, sebesar x %),  maka dapat menambahkan indikator lain sebagai  IKU  seperti  “Penurunan jumlah pencari kerja yang terdaftar”,   atau “Persentase jumlah pencari kerja yang telah tersalurkan”.   
Tim Penyusun harus, cermat dalam memahami indikator lain tersebut agar tidak berbias.  Misalnya, jika ingin menjadikan “Penurunan jumlah pencari kerja yang terdaftar”,   sebagai IKU untuk Sasaran-1, maka harus dipastikan dulu bahwa pada daerah tersebut hampir seluruh pencari kerja mendaftarkan diri ke instansi terkait.  Bagaimana kita mengujinya, antara lain dapat dengan mempelajari data tahun-tahun sebelumnya, misalnya jika data resmi BPS melaporkan jumlah pengangguran terbuka hampir sama dengan jumlah pencari kerja yang terdaftar.   Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi,  maka pemakaian IKU tambahan tersebut akan berbias untuk mengukur Sasaran-1.  Misalnya,  jumlah pencari kerja yang terdaftar menurun  w %,  sehingga  ditafsirkan tingkat pengangguran terbuka menurun, padahal penurunan tersebut disebabkan banyaknya pencari kerja yang tidak mendaftar.   Solusi untuk kondisi, terkait sulitnya ketersediaan data kinerja, atau sulitnya indikator yang setara, maka Tim Penyusun dapat membangun Indikator Kinerja Mandiri  (Permendagri Nomor 54 Tahun 2010) dan  menjadikan indikator tersebut sebagai IKU tambahan.
Kelima,  sinkronisasi dengan informasi kinerja yang dibutuhkan oleh sistem pelaporan yang telah diatur sesuai dengan ketentuan, seperti pelaporan kinerja, penyelenggaraan pemerintahan daerah,  program-program  prioritas  secara  regional  dan  nasional,   serta  pelaporan  lainnya.  Misalnya sinkronisasi antara pelaporan kinerja dengan program prioritas nasional.   Seperti kita ketahui untuk Tahun 2017,  salah satu  sasaran  pembangunan nasional  yaitu pencapaian tingkat pengangguran untuk wilayah sumatera sekitar 5,0%, maka agar terjadi sinkronisasi seyogyanya daerah juga memakai IKU “Penurunan Tingkat Pengangguran, sebesar x %”.  Artinya jika tingkat pengangguran tahun sebelumnya sekitar 6,3 %, maka target IKU seyogyanya minimal 1,3%.
IKU sebuah instrumen, yang akan menuntun bagaimana pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  IKU yang akurat memungkinkan Pemerintah Daerah, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja serta meningkatkan akuntabilitasnya.   

Senin, 18 September 2017

Mengenal Indikator Kinerja Utama (IKU)



Delapan tahun lebih usia regulasi terkait IKU, namun persoalan ukuran kinerja (keberhasilan) yang jelas dan terukur masih menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas kinerja Pemda.    Implementasi IKU dimulai dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara  Nomor : PER/20/11/2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama.  Dalam peraturan tersebut, IKU didefinisikan sebagai ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran strategis instansi pemerintah.   Sejalan dengan waktu definisi IKU mengalami perkembangan, dimana pada beberapa kementerian dan lembaga, IKU didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif dan/ atau kualitatif  yang akan memberikan informasi sejauhmana sasaran strategis yang telah ditetapkan dapat diwujudkan.   Definisi terakhir ini,  lebih berfokus terhadap indikator dari sasaran strategis. 
Pengelompokan IKU bermacam-macam, sesuai karakter/sifat maupun proses pencapaiannya.  Berdasarkan bentuk IKU dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu IKU input,  IKU output dan IKU outcome.  IKU input merupakan IKU paling sederhana, dimana mengukur besaran input-input yang digunakan untuk melaksanakan program-program, seperti alokasi dana.  IKU output  adalah IKU yang mengukur  keluaran (produk) atas penggunaan input-input.  IKU outcome adalah IKU yang mengukur manfaat yang diterima oleh stakeholders sebagai hasil dari kegiatan organisasi. IKU input dan IKU output, sering dikatakan berfokus kedalam organisasi (internal).  Sedangkan IKU outcome,  berfokus pada pihak eksternal atau keluar organisasi.  Dalam evaluasi LAKIP (Permenpan-RB 20 Tahun 2013) mengkehendaki instansi pemerintah untuk menyusun, mereviu dan menyempurnakan perencanaan, pengukuran dan pelaporan kinerja yang berfokus pada hasil (outcome).
Dalam Penyusunan IKU harus diperhatikan tingkat validitasnya.  Validitas suatu IKU ditentukan  oleh tingkat keterkaitan IKU dengan SS (Sasaran Strategis) yang ingin dicapai.   Keterkaitan ini dinilai berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan pada masing-masing urusan/sektor.  Ada 3 (tiga) kelompok validitas suatu IKU yaitu exact, proxcy dan activity.
Validitas exact, merupakan ukuran yang ideal untuk mengukur hasil pencapaian sasaran strategis, dan  biasanya  menggunakan indikator-indikator yang berkaitan secara langsung dan telah teruji secara ilmiah.  Misalkan,  SS  “Penurunan Tingkat Pengangguran”,  maka terdapat beberapa indikator untuk mengukurnya, seperti   tingkat pengangguran terbuka.   Tingkat  pengangguran  terbuka   termasuk IKU exact.
Tingkat validitas proxcy,  jika mengukur hasil secara tidak langsung atau menggunakan sesuatu ukuran yang diasumsikan dapat mewakili hasil yang ingin dicapai.  Misalkan SS : “Meningkatnya kualitas kehidupan beragama”.  Untuk  mengukur  kualitas kehidupan  beragama, secara langsung sangat sulit, namun ada indikator-indikator secara tidak langsung seperti   persentase  penduduk peserta  ibadah haji, peserta ibadah kurban, dll. Jika  persentase penduduk peserta kurban dijadikan IKU, maka termasuk jenis IKU proxcy.  
Tingkat validitas activity,  jika mengukur jumlah, biaya atau waktu dari program/kegiatan yang berdampak terhadap sasaran strategis yang ingin dicapai.  Misalkan SS : “Meningkatnya tata kelola satuan pendidikan”.  Untuk mengukur peningkatan tata kelola satuan pendidikan, dapat dipakai indikator seperti   persentase sekolah yang lulus akreditasi baik,  jumlah sekolah yang mengikuti akreditasi, dll.   Jika  indikator yang dijadikan IKU adalah jumlah sekolah yang mengikuti akreditasi, maka IKU-nya termasuk activity.
Tingkat IKU yang dipilih seyogyanya adalah IKU dengan tingkat validitas exact, namun jika memang belum tersedia maka dimungkinkan menggunakan validitas  proxcy  atau activity,  tetapi sebaik proporsinya dibawah dari 20%  dari  total  IKU yang digunakan.
Target IKU harus memenuhi beberapa hal, yaitu SMART-C; Spesific (spesifik), Measureable (dapat diukur), Agreeable (dapat disetujui), Realistic (realistis, dapat dicapai namun menantang), timebound (memiliki jangka waktu), continuously improve (diupayakan terus meningkat).