Kamis, 13 Juli 2017

Money Follow Program : Sebuah Dilematis Perencana Pembangunan Daerah.



Hasil penelitian Pusat Litbang Pembangunan dan Keuangan Daerah (BPP Kemendagri) terkait Implementasi Restrukturisasi Program dan Kegiatan Berbasis money follow program di beberapa daerah,  menyimpulkan antara lain :  adanya hasil yang positif (seperti lebih cepat dan lebih efisien), meskipun masih bervariasi tergantung persepsi masing-masing daerah.  Peneliti BPP juga berkesimpulan bahwa faktor yang menjadi kendala dalam implementasi restruktuisasi, antara lain : (1) Substansi kebijakan dan perilaku pelaksana yang belum dapat berkomitmen kuat; (2) Interaksi jejaring kerja dan partisipasi kelompok sasaran yang belum optimal. (http://litbang.kemendagri.go.id/).
Permasalahan terkait substansi kebijakan, seperti dilansir Peneliti BPP Kemendagri tersebut, diantaranya belum adanya penyesuaian (revisi) peraturan perundang-undangan terkait perencanaan dan penganggaran terdahulu (memakai prinsip money follow function), seperti Permendagri  Nomor 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. 
Persoalan substansi kebijakan, juga dapat “berkembang” ke arah luar kebijakan-kebijakan dalam perencanaan dan penganggaran, seperti kesesuaian pembentukan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan program prioritas kepala daerah terpilih serta program prioritas nasional.  OPD-OPD yang memiliki unit-unit / bagian-bagian yang menyelenggarakan suatu sub-fungsi / fungsi yang  tidak termasuk prioritas pembangunan,  tentunya harus merestrukturisasi kegiatan / program sesuai konsep  money follow program.  Tanpa restrukturisasi kegiatan / program (sesuai prinsip  money follow program) maka  seyogyanya kegiatan / program pada unit-unit / bagian-bagian tersebut tidak memperoleh alokasi anggaran.  
Kondisi demikian merupakan sebuah  persoalan  yang “dilematis” bagi perencana.    Apabila terdapat  unit-unit / bagian-bagian yang secara struktural maupun fungsional telah diisi oleh pejabat / pegawai,  tetapi tidak memperoleh alokasi anggaran, maka  berpotensi  menjadi sumber-sumber inefisensi dan inefektivitas organisasi.  Sebaliknya jika unit-unit / bagian-bagian tetap memperoleh alokasi anggaran,  berarti pengganggaran masih menerapkan prinsip money follow function, yang disinyalir memiliki kelemahan, sehingga pembangunan daerah menjadi belum fokus.
 Persoalan substansi kebijakan, kadangkala berkolaborasi dengan perilaku pelaksana yang belum berkomitmen kuat untuk melakukan restruikturisasi kegiatan / program, dengan berbagai alasan, termasuk alasan belum adanya dasar hukum yang “kuat”.    Meskipun demikian, cukup banyak  daerah yang mampu keluar dari persoalan substansi kebijakan tersebut, dan menjadi daerah yang  mendapat “apresiasi”  di level nasional.   Daerah-daerah yang mampu mengatasi kendala-kendala tersebut,  memiliki satu karakteristik yang sama yaitu melakukan inovasi dan konsolidasi dalam perencanaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar